SANTET SEGORO PITU.
Bapak sudah berjualan di pasar hampir selama dua puluh tahun. Penghasilan dari warung itulah yang membuat kami bisa memenuhi kebutuhan hingga menyekolahkan aku dan adikku, yang kini Bapak memang percaya pada hal-hal klenik, warisan dari kakek-nenekku yang merupakan penganut kepercayaan lama. Istilah seperti penglaris dan lelakuadalah kata-kata yang akrab di telingaku
Namun, bagiku, semua yang dilakukan bapak masih dalam batas wajar. Lelaku bapak hanya sebatas puasa dan ziarah. Penglaris bapak pun hanya berupa benda-benda keramat yang disimpan di warung.
Sebenarnya, tidak ada masalah berarti di usaha bapak.
Di permukaan, para pedagang pasar terlihat rukun dan ramah satu sama lain. Tapi bapak selalu mengingatkanku, “Jangan pernah percaya dengan siapapun di sana...”
Ia pernah bercerita bahwa ketika mencapai kedalaman lelakunya, ia melihat pasar itu tidak dihuni manusia, melainkan sosok-sosok jin dalam wujud mengerikan. Ada yang menyerupai manusia, tapi dengan mata merah menyala dan taring panjang.
Ada pula yang berkulit hitam kelam, tubuhnya lebih tinggi dari kios-kios, dan kakinya tak menyentuh tanah. Mereka inilah, kata bapak, yang membuat makanan terlihat lebih enak, membuat dagangan laris manis, dan memengaruhi pikiran pembeli.
Namun, bapak menolak menggunakan bantuan mereka. “Lebih baik rejeki sedikit tapi berkah,” katanya.
Namun, semua berubah setahun terakhir. Bapak tiba-tiba jatuh sakit. Ia pulang dari kios dengan wajah pucat, keringat dingin mengucur di dahinya.
Awalnya, ibu mengira itu hanya masuk angin biasa. Tapi penyakit bapak terus berlanjut. Tubuhnya semakin kurus, wajahnya tampak seperti dipenuhi ketakutan yang tak bisa ia ungkapkan.
Saat pulang dari sekolah, aku mendapati rumah sepi.
[Tetangga mengabariku bahwa bapak harus dirawat di rumah sakit karena keadaannya semakin parah. Aku segera berlari menuju rumah sakit, menemukan bapak tergolek lemah di ranjang dengan tubuh menggigil.
Ia terus merintih kesakitan, bahkan setelah dokter memberinya obat penenang.
Rasa sakit itu seolah datang dari dalam dirinya, menggeliat di balik kulit dan tulangnya. Ibu pun hanya bisa menangis di sampingnya, tak tahu harus berbuat apa.
Malam itu, bapak tiba-tiba membuka mata dan menatapku dengan pandangan kosong.
“Bungkusan... di bawah beras... buang jauh-jauh... sebelum terlambat...” bisiknya dengan suara yang nyaris tak terdengar, sebelum tubuhnya kembali kejang. Aku menggenggam tangannya yang dingin, mencoba menenangkannya, tapi dalam hati ada sesuatu yang membuatku merinding.
kata-kata bapak terasa seperti peringatan yang sangat mendesak.
Esoknya, aku mendatangi kios bapak sebelum pasar buka untuk mencari bungkusan yang ia maksud. Dan benar saja, aku menemukannya, tersembunyi di antara tumpukan beras di sudut warung.
Begitu bungkusan itu kupegang, hawa dingin merambat ke seluruh tubuhku. Aroma busuk yang menyengat membuatku hampir muntah, seolah ada sesuatu yang membusuk di dalamnya.
Dengan tangan gemetar, aku membawa bungkusan itu keluar kios.
Tapi sebelum aku bisa memutuskan untuk membuangnya, terdengar bisikan halus di telingaku. “Kembalikan... atau kau akan menyesal...” Suara itu tak berbentuk, namun bergema di kepalaku, membuatku limbung.
Saat malam semakin larut, aku berdiri di depan pekarangan rumah, memegang bungkusan itu. Di bawah sinar bulan yang redup, aku melihat ada bayangan hitam yang melintas di antara pohon-pohon di ujung desa.
“Kesini!” Seorang pria seumuran bapak tiba-tiba menarikku keluar dari kios.
Itu pak Supri, teman bapak di pasar. Ia sepertinya menyadari ketakutan yang kurasakan di kios bapak.
“Itu apa?” Ia menanyakan benda yang masih berada di tanganku itu.
Aku pun menjelaskan bahwa dalam keadaanya yang lemah, bapak memberi tahu tentang bungkusan di bawah beras. Dan aku menemukan ini.
Saat melihatnya, Pak Supri kaget dan memasang wajah cemas. Ia pun memintaku untuk mengembalikan benda itu ke tempatnya dan mengunci kios rapat-rapat.
Sama seperti bapak, Pak Supri juga percaya dengan hal-hal klenik, namun ia sama seperti bapak.
“Kamu belajar ikhlas ya..” Tiba-tiba Pak Supri berkata seperti itu.
Aku tidak mengerti, namun Pak Supri menjelaskan bahwa benda itu membawa petaka untuk keluargaku.
Bungkusan itu menjadi perantara santet yang dikirim oleh seseorang. Salah satu santet yang dikenal paling mematikan di pulah jawa. SANTET SEGORO PITU.
“Yang menyakiti bapakmu itu jin dari seberang lautan. Nggak tahu dengam apa orang itu sampai berniat melakukan ritual itu..”
Pak Supri menjelaskan bahwa pelaku pasti memiliki dendam yang dalam.
Menurutnya untuk menyantet bapak dengan Santet Segoro Pitu, pelaku harus melakukan ritual di tujuh titik pantai keramat di Pulau jawa.
“Biarkan bungkusan itu di sana. Jangan buka kios itu lagi sampai kalian tau seseorang yang bisa menghentikan dampak santet itu. Cukup bapakmu saja yang menjadi korban..”
Aku merinding mendengar cerita Pak Supri. Ia terlihat cemas dan kasihan dengan keadaan bapak.
Awalnya aku menganggap ucapan pak supri berlebihan. Tapi sejak saat itu, hidupku tak pernah lagi sama. Apa yang dikatakan Pak Supri terjadi, Bapak tak pernah bangun dari tidurnya, dan keadaan jasadnya tidak seperti orang yang terkena penyakit biasa.
Jasadnya rusak dengan penyakit aneh.
Saat aku menceritakan perkataan pak supri itu, Ibu setuju agar kami tidak berurusan dengan bungkusan itu. Kios warung bapak tak pernah lagi dibuka.
Pak Supri menyarankan kami untuk melanjutkan usaha bapak di rumah. Ia akan membantu memberi tahu pelanggan bapak tentang kepindahan ini.
Sampai saat ini aku masih takut, dan benar-benar takut. Bagaimana jika santet itu masih mengincar kami? Bahkan kami pun tak pertah tahu siapa yang mengirim santet itu hingga membuat bapak meninggal?
0 Comments